Globalisasi Determinasi Ekonomi dan Budaya Pasar
Argumentasi yang dipakai adalah bahwa derap langkah
perkembangan teknologi dan komunikasi serta perdagangan internasional
kini mendasarkan dirinya pada paradigma borderless world yang tidak
mengenal batas-batas teritorial kedaulatan negara bangsa. Dengan demikian, akar dari kecenderungan ini adalah kemajuan teknologi yang membuka jalan bagi terciptanya mekanisme transaksi ekonomi yang begitu canggih sehingga mendorong dinamika
sosial lainnya. Hal ini menurut saya penting untuk diekplorasi lebih lanjut.
Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama ini, baik itu
sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu yang menolak
ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan globaliasai sebagai
persoalan budaya semata.Sebab kecenderungan latah berbicara globalisasi selama
ini, baik itu sebagai realita atau sekadar “pembayangan” — baik itu
yang menolak ataupun yang setuju — lebih cenderung menempatkan
globaliasai sebagai persoalan budaya semata. Oleh karena itu,
ada baiknya jika sejenak kita melihat fenomena itu dalam bingkai yang
mungkin kurang disukai, yakni dari sudut ekonomi-politik.
Dengan demikian, menjadi tepat kiranya jika kemudian kita membicarakan
kapitalisme yang notabene sebagai cikal-bakal lahirnya globalisasi —
sebagai objek yang pokok. Ada dua hal yang membuatnya demikian.
Pertama, kapitalisme itu sendiri berdiri bukan saja sebagai konsepsi
idealitas manusia, melainkan sebagai realitas yang konkret yang hadir,
dihadapi, dan dialami oleh manusia modern. Di sini kemudian mundur apa yang kita kenal dengan
teori trias economica dan konteks ini kita tarik dalam bingkai
filosofis, kemudian manusia masuk dalam kategori makhluk homo
economicus (manusia ekonomi). Dalam hubungan
paling penting ini cara bertransaksi ekonomi (jual beli) bukan salah
satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu-satunya model yang
mendasari tindakan dan relasi manusia, baik itu dalam hal hubungan
keluarga, tata negara atau bahkan hubungan internasional. Oleh sebab inilah para ekonom dan juga Hery Priyono
percaya pada simpulan, “Apakah itu masyarakat sedang mengalami
kemacetan atau perkembangan dan sekaligus penentuan strategis bagi
perubahan, haruslah diletakkan atas dasar konsep ekonomi dan tak boleh
keluar dari solusi sistem pasar bebas itu sendiri.” Dengan kekuatan
asumsi ini tidak heran jika kemudian muncul etika ekonomi yang berdiri
di luar hukum etika lain. Artinya memercayai bahwa individu yang bertindak bebas
dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi akan berefek baik bagi
peningkatan kesejahteraan publik dibanding dengan pasar yang
dikendalikan/dimonopoli oleh negara. Saking kuatnya pengaruh
teori ini, kemudian yang terjadi adalah penyingkiran penilaian etika
lain semisal agama, sosial, negara, dengan etika economicus
neo-liberal. Etika seperti ini, memanifestasikan diri sebagai
satu-satunya hakim dalam menilai setiap kebijakan.
Sedikit saya tambahkan, bahwa dasar filosofis liberalisme ini sebagai
jalan pasar kapitalisme.
Hal ini bisa kita lihat dari pengandaian Smith yang menekankan
kebebasan aktivitas manusia dalam perekonomian dengan motif dasar yang
sama. Apa yang dimaksud Budiman ini bisa kita buktikan dalam
berbagai kasus pemotongan subsidi, bahan bakar minyak, kesehatan,
pendidikan, dsb., serta terbengkalainya agenda-agenda yang menyentuh
hajat orang banyak, semakin menunjukkan bahwa perubahan yang diarahkan
oleh kapitalisme global berakibat pada munculnya watak asosiasi negara
di satu pihak dan watak komersial di pihak lain.
Budaya pasar
Melihat fenomena determinasi ekonomi-liberal di atas, satu yang teramat
penting diperhatikan adalah bahwa hampir tak ada benteng pertahanan
lagi bagi keaslian tata-budaya lama.
Transformasi teknologi informasi yang didukung oleh geliat komodifikasi
dalam setiap bidang telah mengantarkan pasar menjadi dunia baru yang
menegaskan dunia “tradisional” yang selama ini kita diami. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh semisal model
restoran siap saji Amerika masuk dalam golongan junk-food yang
dikonsumsi oleh kelas pekerja atau pelajar, di Indonesia hadir sebagai
tempat yang elit dan eksklusif. Dengan pengikisan budaya lokal
oleh desakan global ini kemudian nilai kebudayaan yang sering diasumsi
sebagai tatanilai sosial asli (tradisional) sering dianggap ancaman
serius. Mungkin dengan perspektif lain, persoalan
“pergantian” sebuah kebudayaan bukanlah hal yang serius kita
perhatikan, sebab bagi sebuah kebudyaan asli Indonesia misalnya,
bukanlah hal yang final dan kita sakralkan.
Tapi jika kita kembali dalam pengertian globalisasi sebagai bagian
integral arus (kepentingan) ekonomi-politik pemodal, maka persoalan
seperti ini akan menjadi suatu hal yang serius, sebab sebuah kebudayaan
tidak lagi dibangun melalui tata nilai sosial-kemanusiaan, melainkan
justru dibangun dari proses komersialisasi dengan cara-cara
meng-komodifikasikan segala hal.
Minggu, 13 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)