fenomena global warming
Fenomena Pemanasan Global dan Dampaknya
Andi Iqbal Burhanuddin, Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kelautan Unhas
SEBAGIAN besar para ilmuwan di dunia telah mencapai satu kesepakatan mengenai fenomena yang dikenal dengan nama pemanasan global dan telah menjadi sorotan utama masyarakat dunia sekarang ini. Bahkan mantan Wakil Presiden AS, Al Gore mendapatkan hadiah nobel perdamaian tahun ini karena getol mengampanyekan kesadaran dampak pemanasan global atau fenomena perubahan iklim.
Sejalan dengan isu penting fenomena perubahan iklim dunia tersebut, Indonesia telah terpilih menjadi tuan rumah dalam pertemuan Para Pihak ke-13 pada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC ) di Bali pada 3-14 Desember 2007 mendatang. Sesuai dengan amanat Protokol Kyoto, Delegasi Indonesia akan memperjuangkan empat isu penting, yaitu meliputi pelaksanaan program adaptasi perubahan iklim, reduksi emisi melalui pencegahan deforestasi dan degredasi (reduced emissions from deforestation and degredation/ REDD), transfer teknologi, serta keberlanjutan komitmen mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM).
Selama setengah abad terakhir ini, gas rumah kaca C02, methan, nitrat oksida, dan CFC dilepaskan ke atmosfir bumi dalam jumlah yang sangat besar dan dengan konsekuensi yang juga sangat besar. Sama dengan ketika kita menggunduli hutan, padahal ekosistem hutan memiliki fungsi sebagai penyerap karbon dioksida (carbon sink), daerah tangkapan air (water catchment areas) serta sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood). Menggunduli hutan berarti memanaskan permukaan bumi dan membebani atmosfir dengan gas-gas penangkap panas melalui pembakaran bahan bakar fosil. Hasilnya dapat diduga dengan mudah yaitu, sebuah planet yang lebih panas dari sebelumnya.
Menurut laporan Panel Antarpemerintah Perserikatan Bangsa-bangsa/IPCC, telah terjadi kenaikan suhu minimum dan maksimum bumi antara 0,5 – 1,5 derajat. Kenaikan itu terjadi pada suhu minimum dan maksimum di siang hari maupun malam hari antara 0,5 sampai 2,0 derajat Celsius atau temperatur rata-rata global telah meningkat sekitar 0,6 derajat Celsius (33 derajat F) dibandingkan dengan masa sebelum industri.
Jika emisi gas-gas berbahaya ini terus meningkat sesuai dengan kecenderungan yang terjadi, konsentrasi gas rumah kaca akan lebih tinggi dan mencapai dua kali lipat dari sebelum era industri pada tahun 2080. Jika ini terjadi, maka konsentrasi gas rumah kaca akan lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya selama jutaan tahun terakhir ini. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya temperatur rata-rata global sebesar 2,5 derajat Celcsius, dengan peningkatan 4 derajat Celsius di daratan. Angka tersebut sepertinya kecil dan tidak berarti, tetapi ketika temperatur permukaan bumi meningkat 4 derajat C, peningkatan ini sebenarnya cukup untuk mengakhiri Zaman Es.
Saat ini, ketinggian lautan sudah mulai meningkat karena balok-balok es di lautan mulai mencair. Para ilmuwan mengatakan bahwa abad paling dalam milenium terakhir adalah abad ke-20. Tidak mengherankan jika peningkatan tinggi lautan selama abad ke-20 adalah sekitar 10 cm, dan sebagian besar di antaranya terjadi pada abad ke-20.
Kenaikan suhu secara exceptional sangat mencemaskan dibandingkan dengan bencana seperti banjir dan kekeringan karena kenaikan suhu tidak tergantung dari musim dan bersifat lintas batas sehingga efek distruksinya besar. Selain dari itu, kenaikan suhu durasinya lama dan polanya kontinu sehingga menguras totalitas energi. Berbeda dengan banjir dan kekeringan, sekalipun saat itu polanya acak tetapi magnitud banjir besar terjadi pada musim hujan, sedang magnitud kekeringan ekstrem terjadi pada puncak musim kemarau.
Implikasi Pemanasan Global
Perubahan iklim sudah tidak lagi sekadar menyangkut kepentingan lingkungan hidup. Namun, sudah meluas pada aspek keamanan pangan, ketersediaan air bersih, kesehatan masyarakat, gangguan cuaca berupa badai yang kian meningkat intensitasnya serta ancamannya. Intinya, risiko yang dihadapi manusia naik tajam. Tidak hanya mengarah pada kerusakan harta benda atau lingkungan, tetapi juga mengancam jiwa manusia. Pemanasan global telah memicu peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub, berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya.
Simon Retallack dan Peter Bunyard dalam The Ecologist menjelaskan bahwa implikasi pemanasan global sangatlah besar. Dengan temperatur yang lebih tinggi, terdapat energi yang lebih besar untuk mendorong sistem iklim bumi, dan pada gilirannya menimbulkan kejadian-kejadian cuaca yang lebih ganas. Badai, banjir, kekeringan, badai debu, hancurnya garis pantai, intrusi air laut ke air tanah, kegagalan tanam, kehancuran hutan, dan penyebaran penyakit endemik. Mereka juga menyatakan, pertanian di seluruh dunia akan menghadapi gangguan yang amat besar dan ekonomi dapat hancur.
Pemanasan global, seperti dilaporkan 441 pakar Intergovernmental Panel on Climate Change, 10 April 2007, menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi lima tahun mendatang berupa kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, merebaknya wabah penyakit berbahaya, banjir, dan kekeringan. Diperkirakan Asia akan terkena dampak paling parah, produksi pertanian Tiongkok dan Banglades akan anjlok 30 persen, India akan mengalami kelangkaan air, dan 100 juta rumah warga pesisir akan tergenang.
Laju pemanasan global yang tidak terkendali akan makin mempercepat pencairan es di kutub dan meningkatkan permukaan air laut secara drastis. Dampaknya, kawasan pulau kecil dan pesisir makin tenggelam, kemudian menimbulkan sedimentasi yang menutup kawasan terumbu karang. Fenomena tersebut juga akan memicu tingkat keasaman terumbu karang yang menimbulkan pemudaran (bleaching) hingga kepunahan ekosistim tersebut akibat sedimentasi dan intensitas cahaya matahari yang berkurang.
Hedley Centre, sebuah kelompok lingkungan yang dihormati di Inggris melaporkan bahwa peningkatan ketinggian air laut akan mengakibatkan hilangnya 40-50 persen daerah rawa pesisir pada tahun 2080 serta akan membuat hilangnya hutan-hutan bakau (mangrove) di pantai Barat Afrika, Asia Timur, Australia dan Papua Nugini. Padahal daerah tersebut melindungi danau-danau dan sungai-sungai lokal serta berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan ikan air tawar. Pemanasan global adalah satu-satunya penyebab kelangkaan air tawar dunia, dan diprediksikan bahwa pemanasan global akan menyebabkan sebagian besar daerah aliran Sungai Amazon menjadi gurun pada tahun 2050.
Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku. Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka, ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan sumber air.
Fenomena El Nino dan La Nina
Fenomena El Nino di Samudera Pasifik, merupakan penyebab terjadinya dampak kekeringan berkepanjangan secara regional di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kondisi tersebut telah diteliti oleh tim Indonesia-Tiongkok melalui Ekspedisi Kelautan 2007 baru-baru ini. Masa-masa sekarang di samudera Hindia mengalami El Nino semu yang dikenal dengan El Nino Modoki. Akibat fenomena ini, sebelumnya kita mendengar di sebagian wilayah Indonesia bagian utara banjir, sedangkan di bagian selatan kekeringan. El Nino semu ini ditimbulkan oleh adanya massa uap air kering dari Samudera Hindia bagian timur yang bergerak ke arah barat dengan melintasi sebagian wilayah Indonesia di Bagian Selatan.
Wilayah Indonesia di bagian utara sendiri saat ini mengalami dampak fenomena La Nina dari Samudera Pasifik. Fenomena La Nina ini menimbulkan hujan berkepanjangan. Meskipun sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami hujan, pada masa 2008-2009 hendaknya diwaspadai dampak kekeringan akan berkepanjangan. Diperkirakan, 2008-2009 fenomena La Nina akan melemah, tetapi El Nino semu masih berlangsung.
Menurut ahli kajian kesehatan lingkungan, El Nino, fenomena alam di lautan Pasifik, telah memberi kontribusi terhadap penyebaran penyakit malaria, deman berdarah, diare, kolera, encephalitis, dan penyakit akibat vektor lainnya. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, penyakit-penyakit tersebut juga terjadi di negara-negara yang telah maju. Ironisnya, negara berkembang yang lebih sedikit kontribusinya dalam pemanasan global justru paling rentan terjangkit penyakit.
Dampak perubahan iklim serta terus meningkatnya harga minyak mentah yang melampaui batas psikologis menuntut setiap negara melakukan mitigasi dan adaptasi. Negara di dunia berlomba mengurangi dampak buruk perubahan iklim serta mencari cara agar bisa beradaptasi dengan kondisi baru, seperti penggunaan listrik dan bahan bakar fosil untuk adaptasi dan proses produksi akan meningkatkan gas rumah kaca atau konversi energi dari bahan bakar fosil kini beralih ke nabati dalam bentuk etanol maupun biodiesel.
Sifat perubahan iklim tentu tidak mengenal batas negara. Begitu pula distribusi dan dampaknya, bahkan akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan antar-negara. Negara-negara industri adalah penyumbang terbesar gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim, sementara negara berkembang yang lebih sediki kontribusinya dalam fenomena pemanasan global ini justru terkena dampak yang nyata. Oleh karena itu, semua pihak harus menyatakan perang melawan pemanasan global dengan perannya masing-masing. Industri transportasi, ahli pertanian, aktifis lingkungan, pemerintah hingga individu harus mengerem peningkatan pemanasan global.
Peran setiap negara untuk menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca kembali perlu dipertegas dalam pertemuan tingkat tinggi tentang perubahan iklim di Bali nanti agar diwujudkan secara nyata. Meskipun demikian, negara-negara maju tetap didorong memberikan insentif atau transfer teknologinya untuk adaptasi dan mitigasi bencana dampak perubahan iklim bagi negara-negara berkembang. **
Kamis, 03 Desember 2009
Langganan:
Postingan (Atom)